Boleh tidak menikah anak nomor 1 dengan nomor 3(terakhir)??
kalau menurut jawa menikah Jilu(siji dan telu) banyak pantangan.. saya belum paham untuk yang tidak diperbolehkan menikah jilu. anak ke 3 itu anak terakhir atau anak ke 3 tapi yang masih punya adik. atau malah dua-duanya.. ? ​
Jawaban 1 :Â
ya gak boleh lah, itu ada hukumnya yg boleh sma gak boleh dinikahi…kalo sdara kandung kita gak boleh, lgian ada yg mw nikah sma adekny sndri?
kalo emang itu adat…yah pemahaman lbih dalam lagi, asalkan jangan ngasal
Dijawab Oleh :Â
Ahmad Hidayat, S. Pd.
Jawaban 2 :Â
ya gak boleh lah, itu ada hukumnya yg boleh sma gak boleh dinikahi…kalo sdara kandung kita gak boleh, lgian ada yg mw nikah sma adekny sndri?
kalo emang itu adat…yah pemahaman lbih dalam lagi, asalkan jangan ngasal
Dijawab Oleh :Â
Dedi Setiadi, S. Pd. M.Pd.
Penjelasan :
Memahami Tradisi Jilu: Mitos atau Fakta?
Tradisi Jilu merujuk pada kepercayaan dalam primbon Jawa yang melarang atau memberikan peringatan keras terhadap pernikahan antara anak sulung (pertama) dari satu keluarga dengan anak ketiga dari keluarga lainnya. Angka “siji” (satu) dan “telu” (tiga) dalam kombinasi ini dianggap membawa energi yang tidak selaras atau berpotensi menimbulkan kesialan. Pantangan ini bukan sekadar takhayul, melainkan berakar pada interpretasi filosofis mendalam mengenai posisi dan karakter masing-masing anak dalam tatanan keluarga.
Keyakinan populer menyebutkan bahwa pasangan Jilu akan mengalami berbagai rintangan, mulai dari rezeki yang seret, kesulitan memiliki keturunan, hingga seringnya pertengkaran yang berujung pada perceraian. Namun, penting untuk diingat bahwa primbon adalah panduan, bukan takdir mutlak. Ada berbagai faktor lain yang jauh lebih substansial dalam menentukan keberhasilan sebuah rumah tangga, dan ini menjadi fokus utama dalam mencari berbagai solusi pernikahan anak pertama dan ketiga.
Batasan Anak Ketiga dalam Konteks Jilu
Pertanyaan krusial yang sering muncul adalah mengenai definisi “anak ketiga” dalam konteks Jilu: apakah ia harus anak terakhir atau bisa juga anak ketiga yang masih memiliki adik? Secara umum, dalam tradisi Jawa, yang dimaksud dengan anak ketiga dalam pantangan Jilu adalah posisi urutan kelahiran anak tersebut, yaitu anak nomor tiga, tanpa memandang apakah ia adalah anak terakhir atau masih memiliki adik.
Namun, beberapa interpretasi yang lebih ketat cenderung menguatkan pantangan ini jika sang anak ketiga memang merupakan anak terakhir (bungsu) dalam keluarga. Alasannya, anak terakhir seringkali memiliki karakter yang berbeda dibanding anak tengah, dan perpaduan karakter anak sulung dengan anak bungsu yang kebetulan berurutan ketiga ini dipercaya memiliki dinamika unik yang butuh perhatian ekstra. Meskipun demikian, pada intinya, fokus tetap pada urutan kelahiran sebagai anak ketiga.
Mengapa Konsep Jilu Menjadi Pantangan?
Pantangan Jilu bukanlah larangan tanpa dasar. Ia lahir dari perenungan dan pengamatan para leluhur Jawa terhadap pola-pola kehidupan dan karakteristik manusia.
Filosofi di Balik Angka
Dalam kosmologi Jawa, angka memiliki makna mendalam. Angka satu (siji) sering dikaitkan dengan kepemimpinan, awal, dominasi, atau kemandirian. Sementara itu, angka tiga (telu) dapat melambangkan keseimbangan, tengah, atau kadang juga dianggap posisi yang “nanggung” atau “paling unik” dalam tiga bersaudara (bukan sulung dan bukan bungsu kalau ada adik, atau bungsu jika hanya tiga bersaudara). Kombinasi “siji” dan “telu” ini dipercaya tidak memiliki “pola” yang harmonis, atau adanya energi yang saling bertolak belakang sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan dalam biduk rumah tangga.
Dampak Psikologis dan Sosial
Terlepas dari keberkahan atau kesialan yang bersifat metafisik, kepercayaan terhadap Jilu juga memiliki dampak psikologis dan sosial. Jika pasangan dan keluarga sangat meyakini pantangan ini, hal tersebut bisa menciptakan “self-fulfilling prophecy”. Kecemasan dan kekhawatiran yang terus-menerus terhadap masa depan pernikahan dapat memengaruhi interaksi sehari-hari dan memicu masalah yang sebenarnya bukan karena urutan lahir, melainkan karena sugesti negatif. Selain itu, tekanan dari keluarga atau lingkungan sosial yang masih memegang teguh tradisi ini juga bisa menjadi beban berat bagi pasangan.
Pandangan Modern vs. Tradisional
Di era modern, pandangan terhadap tradisi seperti Jilu mulai bergeser. Generasi muda cenderung lebih rasional dan mengutamakan kecocokan personal, komitmen, dan nilai-nilai universal pernikahan daripada urutan kelahiran. Namun, bagi sebagian keluarga yang masih memegang teguh adat istiadat, pantangan ini tetap menjadi pertimbangan serius. Konflik antara pandangan modern dan tradisional inilah yang seringkali mendorong pasangan untuk mencari solusi pernikahan anak pertama dan ketiga yang dapat diterima semua pihak.
Mencari Solusi Pernikahan Anak Pertama dan Ketiga
Bagi pasangan yang telah memahami pantangan Jilu namun tetap ingin melangsungkan pernikahan, tidak perlu berkecil hati. Ada berbagai solusi pernikahan anak pertama dan ketiga yang bisa ditempuh, menggabungkan kearifan lokal dengan pendekatan modern yang bijaksana.
Konsultasi dengan Sesepuh atau Ahli Primbon
Langkah pertama yang bijak adalah berkonsultasi dengan sesepuh keluarga atau ahli primbon yang terpercaya. Mereka mungkin memiliki pengetahuan mendalam mengenai tradisi Jilu dan jalan keluar yang dianjurkan. Kadang kala, ada perhitungan weton atau laku tertentu yang bisa “menetralisir” pantangan tersebut. Pendekatan ini menunjukkan penghormatan terhadap tradisi dan bisa meredakan kekhawatiran keluarga.
Upacara Adat dan Ruwatan
Salah satu solusi pernikahan anak pertama dan ketiga yang sering ditawarkan dalam tradisi Jawa adalah melalui upacara adat khusus, seperti ruwatan. Ruwatan adalah ritual penyucian atau tolak bala yang bertujuan untuk membuang kesialan (sengkala) yang melekat pada seseorang atau suatu peristiwa. Dalam konteks pernikahan Jilu, ruwatan dapat dilakukan untuk memohon kelancaran dan keharmonisan rumah tangga, dipercaya dapat menetralisir energi negatif yang diasosiasikan dengan kombinasi anak pertama dan ketiga.
Pendekatan Rasional dan Modern
Selain pendekatan tradisional, ada pula solusi pernikahan anak pertama dan ketiga yang berfokus pada aspek rasional dan psikologis:
Komunikasi Terbuka Antar Keluarga
Kunci utama dalam menghadapi perbedaan pandangan adalah komunikasi. Pasangan dan kedua keluarga harus duduk bersama, membuka dialog dari hati ke hati. Jelaskan niat tulus, keseriusan, dan komitmen pasangan. Bicarakan kekhawatiran dari kedua belah pihak secara jujur dan cari titik temu. Membangun pengertian dan dukungan dari keluarga jauh lebih penting daripada terjebak dalam mitos.
Membangun Keyakinan Diri dan Pasangan
Fokuskan pada kekuatan cinta, komitmen, dan keyakinan diri sebagai pasangan. Rumah tangga yang bahagia dibentuk oleh fondasi yang kuat, seperti saling percaya, komunikasi yang baik, dukungan emosional, dan kemampuan menyelesaikan masalah bersama, bukan semata-mata oleh urutan kelahiran. Dengan keyakinan yang kuat, pasangan dapat membuktikan bahwa kebahagiaan mereka tidak ditentukan oleh pantangan Jilu.
Prioritaskan Nilai Universal Pernikahan
Pernikahan adalah tentang dua individu yang berkomitmen untuk membangun masa depan bersama. Prioritaskan nilai-nilai universal seperti kasih sayang, kesetiaan, pengertian, dan kerja sama. Ini adalah solusi pernikahan anak pertama dan ketiga yang paling fundamental dan abadi. Apabila fondasi ini kuat, rintangan apapun, termasuk kekhawatiran tradisi, dapat dihadapi dan diatasi bersama.
Mengukir Kisah Cinta di Tengah Tradisi
Mengambil keputusan untuk menikah di tengah pantangan tradisi memang membutuhkan keberanian dan kebijaksanaan. Namun, tradisi bukan berarti halangan yang tidak bisa ditembus. Ia adalah bagian dari identitas yang bisa dihormati, namun tidak harus mengurbankan kebahagiaan. Dengan pendekatan yang tepat, pasangan dapat menemukan solusi pernikahan anak pertama dan ketiga yang menghargai nilai-nilai leluhur sekaligus mengutamakan kebahagiaan dan masa depan rumah tangga mereka.
Akhirnya, keharmonisan sebuah pernikahan terletak pada bagaimana pasangan membangunnya setiap hari, bukan pada angka atau urutan kelahiran. Dengan cinta yang tulus, komunikasi yang efektif, serta dukungan dari keluarga, kisah cinta antara anak pertama dan anak ketiga dapat terus diukir dengan indah, mengatasi segala keraguan dan pantangan yang ada.
Kesimpulan
Pantangan pernikahan Jilu (anak pertama dengan anak ketiga) merupakan bagian dari kearifan lokal Jawa yang perlu dipahami dengan bijak. Meskipun dipercaya membawa rintangan, ada beragam solusi pernikahan anak pertama dan ketiga yang bisa dipertimbangkan, mulai dari pendekatan spiritual seperti konsultasi dengan ahli primbon dan upacara ruwatan, hingga pendekatan rasional dan modern melalui komunikasi terbuka antar keluarga serta pembangunan keyakinan diri pasangan. Yang terpenting adalah komitmen, cinta, dan kemampuan pasangan untuk menghadapi tantangan. Pada akhirnya, kebahagiaan rumah tangga sejati terletak pada kekuatan fondasi pernikahan yang kokoh, di luar mitos urutan kelahiran.